Kamis, 07 Februari 2008

METODOLOGI PEMIKIRAN MUHAMMAD SYAHRÛR: STUDI ATAS AL-KITÂB WA AL-QUR`ÂN: QIRÂ`AH MU’ÂSHIRAH

1. Pendahuluan
Dalam berbagai diskusi tentang “penerapan hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara” atau diskusi tentang “relevansi kitab suci dengan kehidupan modern”, saya sering mendengar pertanyaan apakah kitab suci harus mengikuti perubahan zaman ataukah realitas yang mesti mengikuti teks kitab suci. Pertanyaan ini lahir disebabkan adanya kesenjangan antara yang tertulis dalam teks dengan realitas, padahal kita berkewajiban – meminjam istilah Iqbal - untuk mendamaikan kebakaan dengan kefanaan, mendamaikan antara teks dan kebutuhan kemanusiaan.
Mendamaikan yang sakral dengan yang profan, yang ukhrawi dan duniawi, membedakan yang konstan dan varian, memilah bentuk dan substansi, memang merupakan problem dan sekaligus tujuan utama pembaharuan keagamaan. Tunduk sama sekali pada realitas dan perubahan akan menghilangkan kebakaan dan karenanya, agama tidak patut lagi disebut agama; sedangkan bersikeras mempertahankan kebakaan dan menolak mentah-mentah perubahan membuat agama tidak mungkin hidup di dunia kontemporer ini. Oleh karena itulah maka dibutuhkan fatwa keagamaan yang inovatif, fuqaha yang berani, upaya penyegaran pemikiran, teologi-teologi baru dan yang lebih penting kita membutuhkan epistemologi baru yang handal dalam menjawab tantangan zaman.
Pada akhir abad ke-20, yakni pada tahun 1990-an, dunia Arab-Islam dikejutkan oleh diterbitkannya buku Al-Kitâb wa al-Qur`ân Qirâ`ah Mu’âshirah karya Muhammad Syahrûr. Sejak diterbitkan, buku itu telah mengundang kontroversi dan penulisnya menuai berbagai tuduhan. Muhammad Syahrûr, penulis buku tersebut, adalah seorang doktor dalam bidang mekanika tanah yang mencoba memasuki wilayah hermeneutika Al-Kitab. Dengan keahliannya dalam bidang teknik dan dipadukan dengan teori-teori linguistik, Syahrûr berhasil memberikan makna-makna baru, sekaligus mengkritik, atas konsep-konsep keagamaan klasik. Melalui eksplorasi atas konsep nubuwwah dan risalah ia memberikan sistematika lain bagi al-Kitab serta menawarkan suatu cara mendamaikan yang sakral dengan yang propan.

2. Muhammad Syahrûr dan Karyanya

2.1. Biografi Syahrûr
Muhammad Syahrûr Deyb dilahirkan di Damaskus, Syria, pada 11 Maret 1938. Pendidikan dasar dan menengah ditempuh Syahrûr di lembaga pendidikan ‘Abd al-Rahmân al-Kawâkibî, Damaskus. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, pada bulan Maret 1957 Syahrûr mendapat beasiswa pemerintah untuk studi tehnik sipil di Moskow, Uni Soviet. Dari sanalah ia berhasil meraih gelar diploma dalam teknik sipil, 1964. Sepulang dari Moskow ia bekerja sebagai dosen Fakultas Tehnik Universitas Damaskus. Selanjutnya, ia dikirim oleh pihak universitas untuk melanjutkan pendidikan ke Irlandia di Universitas Nasional Irlandia. Dari universitas tersebut ia memperoleh gelar master (1968) dan doktor (1972) dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Pondasi. Kemudian kembali ke almamaternya untuk mengajar dalam bidang mekanika pertanahan dan geologi.
Pada tahun 1982-1983 Syahrûr dikirim oleh pihak universitas untuk menjadi tenaga ahli pada al-Sa’ûd Consult, Arab Saudi. Setelah kembali ke Universitas Damaskus ia bersama rekannya di fakultas tehnik membuka biro konsultan teknik Dâr al-Isytisyârât al-Handasiyyah di Damaskus. Hingga sekarang ia masih mengajar di Universitas Damaskus sebagai seorang professor dalam bidangnya. Disamping menguasai bidang teknik, Syahrûr secara otodidak menekuni filsafat, khususnya humanisme, dan linguistik Arab.
2.2. Karya Syahrûr
Syahrûr termasuk pemikir produktif dan dapat diklasifikasikan sebagai penulis buku sesungguhnya. Buku-buku yang ditawarkannya merupakan hasil pemikiran yang mendalam, bukan merupakan kumpulan makalah yang instan, tetapi hasil dari kesengajaan untuk membuat buku (yang tebal) sehingga keajegan pemikiran dan isinya bisa terbaca. Buku-bukunya dapat dikategorikan pada dua bidang keilmuan, yaitu bidang tehnik fondasi yang merupakan spesialisasinya dan bidang pemikiran (keagamaan) yang merupakan bagian dari hidup dan kegemarannya. Dalam bidang tehnik ia menulis buku Handasat al-Asâsât (Tehnik Fondasi Bangunan) dan Handasat al-Turbat (Tehnik Pertanahan). Dalam bidang pemikiran keagamaan, antara lain, ia menulis: Al-Kitâb wa al-Qur`ân Qirâ`ah al-Mu’âshirah (1990); Dirâsât Islamiyyah Mu’âshirah fi al-Daulah wa al-Mujtamâ’ (1994); Al-Islâm wa al-Imân: Manzhûmah al-Qiyâm (1996); Nahwa Ushul Jadîdah li al-Fiqh al-Mar`ah (al-Islâm [?]) (2000); Masyrû Mitsâq al-‘Amal al-Islâmî (1999); Al-Harakah al-Libaraliyyah Rafadhat al-Fiqh wa al-Tasyrî’âtihâ wa lakinnahâ Lâ Tarfudh al-Islâm ka-Tawhid wa Risâlah Samâwiyyah (2000); Al-Harakah al-Islâmiyyah Lân Tafûz bi al-Syar’iyyah illa idza Tharahat Nazhariyyah Islâmiyyah Mu’âshirah fî al-Daulah wa al-Mujtamâ’ (2000) ; Islam and The 1995 Beijing World Conference on Women (1998 [?]).


3. Prinsip-prinsip Metodologi Pemikiran Syahrûr
3.1. Kegelisahan Syahrûr
Sesungguhnya, yang menjadi konsen para penyegar keagamaan adalah masalah-masalah kemanusian, hak asasi manusia, hubungan agama dengan negara, demokrasi, hubungan muslim dan non muslim, dan epistemologi atau fiqh baru. Jadi, Syahrûr, Arkûn, al-Jâbirî, Abû Zaid, Soroush, Hanafi, Rahmân, dan al-Nâ`im – sekedar menyebut nama - sebenarnya berada dalam satu gerbong. Yang menjadi pembeda di antara mereka adalah cara yang digunakan dalam menanggapi persoalan tersebut. Ketika mereka melihat adanya permasalahan dalam kemanusiaan di tingkat nasional negara mereka masing-masing, mereka mencari sumber penyebab permasalahan itu, yang di antaranya disimpulkan bahwa hal itu akibat dari keterkungkungan umat oleh pemikiran masa lalu. Lalu, ramai-ramailah para pionir itu membongkar dimensi historis, ideologis dan epistemologis tradisi sambil sekaligus menawarkan epistem pilihannya. Adapun Syahrûr beserta dengan Rahmân dan al-Nâ`im tidak mengkritik tradisi dengan cara membongkar kesakralannya, melainkan dengan cara melakukan penafsiran baru atas Al-Kitab dengan metode-metode – yang sebenarnya - klasik yang telah dipilih dan dipoles hingga tampak baru.
Sama seperti para penyegar pemikiran lainnya, Syahrûr pun melihat bahwa dalam pemikiran Arab-Islam terdapat penyakit yang harus ditanggulangi dengan segera. (1) Menurutnya, dalam pemikiran Arab tidak ada metode yang benar-benar ilmiah dan objektif yang digunakan dalam kajian-kajian ilmiah maupun dalam menelaah kitab suci. Padahal metode ilmiah itu penting agar pemahaman atas Al-Kitab tidak dangkal dan fanatik akibat dari masuknya sentimen primordial kemazhaban dan aliran teologi. (2) Karena tidak tersedia metode ilmiah maka tidak ada pula riset ilmiah atas berbagai permasalahan. Buku-buku agama yang menyatakan diri ilmiah kenyataannya adalah upaya jastifikasi atas proyek memfanakan atau membaqakan Islam. (3) kebanggaan atas kebaqaan Islam dan keagungannya akan ketakutan akan propanisasi Al-Kitab menjadikan umat Islam – jangankan memanfaatkan, ia malah - terisolasi dari filsafat dan pemikiran luar, khususnya tradisi Barat. (4) Isolasi diri dari luar berakibat pada kosongnya pemikiran Arab dari ilmu, filsafat dan epistem baru yang dapat koheren dengan – serta dapat digunakan untuk mengungkap - kandungan Al-Qur`ân (bagian dari Al-Kitab yang menerangkan tentang hukum alam dan kemanusiaan), sehingga hasil-hasil pemikiran tetap terjebak pada mazhab fiqh (walaupun ada lima), aliran teologi dan saling tuduh. (5) Akhirnya, menurut Syahrûr, umat Islam hidup dalam krisis pemahaman yang serius (azmah fiqhiyyah hâdah), sehingga benarlah bahwa umat ini membutuhkan fiqh baru dan pembacaan kontemporer atas sunnah Nabi.
3.2. Rasionalisme dan Linguistik
Pendidikan menengah yang dilalui Syahrûr dan pendidikan tingginya berada pada rel yang sama, yakni rasionalisme. Diambilnya nama Al-Kawâkibî untuk menjadi nama sekolah tempat ia belajar paling tidak menunjukkan apresiasi para pendirinya pada pemikiran rasional dan modern. Al-Kawâkibî adalah seorang modernis dan rasionalis dari Turki. Bahkan kalau kita pertanyakan lebih jauh, dimasukkannya Syahrûr ke lembaga tersebut mengindikasikan ia lahir dari keluarga yang rasional atau hidup di lingkungan itu atau paling tidak terpesona oleh kaum rasionalis. Pendidikan tingginya dalam bidang tehnik membutuhkan paradigma rasional. Bahkan menurut Soroush rasionalisasi adalah saudara tehnikalisasi. Latar belakang rasionalisme dalam pemikiran Syahrûr mendapatkan dukungan dari hobinya membaca filsafat dan linguistik serta dialog intensnya dengan kawan yang ahli linguistik. Linguistik atau kajian kebahasaan merupakan ilmu rasional.
Dari uraian di atas tersirat bahwa basis epistemologi Syahrûr bersumber dari rasionalisme dan linguistik. Oleh karenanya, ketika menyebutkan prinsip-prinsip metodologi pembacaan kontemporernya ia menyebutkan asumsi-asumsi rasional.
Pertama, Adanya hubungan antara kesadaran dengan eksistensi material. Eksistensi material adsalah sumber pengetahuan manusia yang karenanya pengetahuannya bersifat objektif. Dengan prinsip ini Syahrur menolak pemikiran filosof yang mengatakan bahwa pengetahuan merupakan upaya pengingatan kembali alam ide yang tidak mempehatikan dialektika antara kesadaran dan realitas.
Kedua, Keharusan berpegang kepada pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang bertolak dari yang terindera menuju pengetahuan teoritis abstrak, dan menolak pengetahuan yang didasarkan atas metode iluminasi (isyrâqiyah-ilhâmiyyah) yang dikembangkan oleh kaum irfân (tasawuf). Bahkan, menurut Syahrûr, mengakui keberadaan ilmu laduni berarti berpartisipasi dalam menghancurkan tatanan masyarakat.
Ketiga, Kosmos atau alam semesta bersifat material dan akal manusia sanggup mempersepsi dan mengetahuinya tanpa ada batasan. Kemampuan akal manusia dalam berpikir bersifat kontinyu dan terus terus menerus meningkat dari masa ke masa. Setiap perkara yang terdapat di alam semesta bersifat material, bahkan ruang kosong sekalipun. Ilmu tidak mengenal eksistensi alam non material yang tidak sanggup di cerna oleh akal.
Keempat, pengetahuan bermula dari persepsi indra (al-sam’ dan al-bashar) atas alam nyata dan kemudian meningkat melalui persepsi itu kepada pemikiran teoritis abstrak sehingga ia dapat mengetahui alam “ghaib”. Dengan demikian Alam nyata dan alam ghaib itu sama-sama bersifat material, hanya saja alam ghaib masih tertutup (ghâba) dari persepsi indera kita sekarang karena perkembangan ilmu belum sampai kemungkinan mengetahuinya.
Kelima, tidak ada pertentangan antara apa yang terdapat dalam al-Qur`ân dengan apa yang terdapat dalam filsafat. Kenyataan ini hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalam ilmunya dengan menggunakan ta’wil, yaitu usaha untuk terus menerus mencari kesesuaian (tasyâbuh) antara teks dengan akal dan realitas. Bagi Syahrur inilah yang menjadi jembatan yang menghubungkan antara kebakaan dan kefanaan al-Qur`ân. Dengan prinsip ini Syahrûr dapat menerima kesesuaian antara teori Darwin tentang evolusi; teori Einstein dan lain-lain.
Keenam, Alam semesta tidak diciptakan dari kekosongan melainkan dari materi lain yang memiliki sifat yang berbeda. Sesungguhnya fenomena alam material ini hasil dari ledakan besar (Big Bang) yang mengantarkannya pada perubahan karakter material. Ledakan besar yang lain akan terjadi lagi nanti yang akan menghancurkan seluruh alam ini dan mengubah karakter materialnya serta memberi jalan akan kehadiran alam yang sama sekali lain yang memiliki hukum dan karakter yang berbeda. Inilah yang disebut “kehidupan akhirat”. Prinsip ini menjadi acuan Syahrur ketika ia mengkaji konsep peniupan terompet, kiamat, kebangkitan, pembalasan , surga dan nerakapembalasan dan lain-lain.
Prinsip-prinsip di atas yang berakar pada rasionalisme dan kekinian telah diletakkan Syahrûr sebagai alat untuk memprofankan Islam dan Kitab Sucinya dan prinsip ini menyampaikannya kepada kesimpulan-kesimpulan baru yang tidak ditemukan oleh dan dalam tradisi. Namun demikian, selain mengambil prinsip-prinsip metodologis modern, ia juga memperhatikan prinsip-prinsip klasik dalam upayanya memprofankan Kitab Suci. Ia mengambil, memilih dan memilah berbagai prinsip yang ditawarkan tradisi dan meramunya menjadi enam prinsip berikut ini.
(1) Mengacu kepada karakter khusus bahasa Arab berdasar teori bahasa yang dikembangkan oleh Abû ‘Alî al-Fârisî, Ibn Jinnî dan ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî dan bersandar pada puisi-puisi jahiliah. Adapun metode yang ditawarkan ketiga tokoh itu, menurut Ja’far Dâk Albâb dalam pengantar buku Al-Kitâb wa al-Qur`ân, meliputi: (a) adanya keterkaitan antara bahasa dan pikiran; (b) bahasa tidak tumbuh secara sempurna dalam satu waktu melainkan berkembang sebagaimana berkembangnya pikiran manusia; (c) menolak adanya sinonimitas dalam bahasa; (d) bahasa adalah sebuah sistem; (e) memperhatikan hal-hal yang bersifat universal dan konstan, tanpa menafikan adanya pengecualian-pengecualian.
(2) Kesimpulan awal dan mutakhir ilmu-ilmu modern menyatakan bahwa dalam setiap bahasa tidak ditemukan kata-kata yang sinonim, tetapi ditemukan antonim. Setiap kata (secara otonom) mengandung perubahan-perubahan historis baik yang merusak atau maupun yang melahirkan makna baru dengan tetap berkaitan dengan makna awalnya. Begitu pula dengan kata dalam bahasa Arab, ia tidak mengenal sinonim namun mengalami perubahan makna. Untuk kepentingan itu dibutuhkan kamus bahasa yang memadai. Syahrûr menganggap kamus Maqâyîs al-Lughah karya Ibn Fâris menjawab kebutuhan itu, karena kamus ini tidak mengenal sinonim. Dengan prinsip tidak ada sinonim dalam bahasa dan bekal kamus inilah Syahrûr menganalisa ratusan kata dalam Al-Kitab yang melahirkan berbagai pengertian yang tidak biasa.
(3) Islam adalah agama yang sesuai dengan segala tempat dan waktu maka kitab sucinya (Al-Kitab) harus dianggap turun kepada kita pada zaman kita abad 20 masehi ini, seolah-olah Nabi Saw. baru saja meninggal dan menyampaikan kitab ini kepada kita. Menurut Syahrur, pembacalah, dengan konteks zaman dan perangkat metodologi, yang paling tahu makna Al-Kitab untuk kehidupannya. Tafsir yang kita lakukan untuk abad kita menjadi sejajar dengan tafsir yang dilakukan Nabi untuk abadnya. Kesejajaran tafsir kita dengan tafsir nabi bukan terletak pada hasilnya melainkan pada proses interaksinya. Tentu saja, prinsip ini dapat membuat gerah para mufassir yang berpandangan bahwa tafsir terbaik adalah tafsir rasul, kemudian tafsir shahabat dan tabiin (tafsir bi al-ma`tsur) dan yang mengharuskan kita mengikuti tafsir salaf.
(4) Al-Kitab adalah petunjuk bagi manusia. Oleh karena itu akal manusia akan dapat memahami Al-Kitab atau ia dapat dipahami sesuai dengan kemampuan akal pembacanya. Al-Kitab datang dengan bahasa yang dapat dipahami, yaitu bahasa arab yang jelas (al-mubîn). Syahrûr menolak pandangan yang menyatakan adanya kata-kata dalam Al-Kitab yang tidak bisa dipahami. Menurutnya, tidak ditemukan keterputusan antara bahasa dan pikiran, dan pemahaman bersifat historis, relatif dan temporer, maka bahasa Al-Kitab menyediakan ratusan milyar kemungkinan makna sesuai dengan perkembangan historis, dan sifat relatif dan temporer dari pikiran dan pemahaman manusia. Prinsip ini juga berarti Al-Kitab mengandung sifat kemanusiaan bukan kaaraban. Kesesuaiannya tidak untuk masayarakat Arab semata, melainkan untuk seluruh penjuru dunia; tidak hanya terbatas pada masda Nabi dan shahabat melainkan untuk seluruh masa.
(5) Allah telah memuliakan akal manusia sebagai lawan bicaranya, oleh karenanya (a) tidak mungkin ada pertentangan antara akal dengan wahyu dan (b) tidak ada pertentangan antara wahyu dan realitas. Karena kalau ada pertentangan berarti Allah telah bertindak sia-sia dengan mengirimkan wahyu.
(6) Karena Allah telah memuliakan akal manusia maka sepantasnyalah kita juga memuliakan dan menghormatinya. Dengan ini Syahrûr mengajak kita bersikap toleran dan demokratis.

4. Konsep Syahrûr tentang Nubuwwah-Risalah dan Implikasinya terhadap Sisitematika Al-Kitab dan al-Sunnah
4.1. Nubuwwah dan Risalah
Peran yang diberikan Allah kepada Muhammad Saw. pada dasarnya terdiri dari dua peran pokok, yaitu peran nabi dan peran rasul. Pelajaran tauhid yang kita terima di madrasah ibtidaiah membedakan peran nabi dengan rasul itu. Menurut ilmu tauhid, Nabi adalah orang yang diberi wahyu oleh Tuhan tetapi tidak berkewajiban untuk menyampaikan kepada umat sedangkan rasul adalah orang yang diberi wahyu dengan kewajiban menyampaikan dan mengajak umat untuk menerapkannya. Pembedaan ini hampir mirip dengan pembedaan yang dilakukan oleh Syahrûr.
Konsep al-nubuwwah (kenabian) dan al-risâlah (kerasulan) merupakan konsep pokok dalam penelitian Syahrûr. Melalui konsep inilah ia melakukan sistematisasi kitab suci dan hadis. Menurut Syahrûr, nubuwwah adalah kumpulan berbagai pengetahuan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad sedangkan risalah adalah kumpulan syari’ah yang datang kepada Nabi beriringan dengan diwahyukannya berbagai pengetahuan itu. Muhammad bin Abdullah (Saw.) disebut “nabi” karena ia menerima berbagai pengetahuan dari Allah dan disebut “rasul” karena mendapat titah untuk menyampaikan syari’ah. Nubuwwah berisi ilmu pengetahuan dan risalah memuat hukum-hukum. Pengetahuan tentang eksistensi alam semesta, eksistensi manusia, dan tafsir atas sejarah merupakan buah dari nubuwwah, sementara hukum waris, tata cara ibadah, akhlak, muamalah, dan hal-hal yang diharamkan merupakan tugas risalah.
4.2. Sistematika Al-Kitab
Kemudian dengan merujuk kepada perbedaan nubuwwah dan risalah di atas serta berdasar pada penelitian linguistik atas istilah-istilah yang disediakan kitab suci, Syahrûr berkesimpulan bahwa ayat-ayat kitab suci terdiri dari dua kelompok utama, yaitu kelompok nubuwwah dan kelompok risalah. Ayat-ayat yang termasuk kelompok nubuwwah (kitâb al-nubuwwah) adalah ayat-ayat yang berbicara mengenai kumpulan pengetahuan tentang alam dan sejarah yang memuat penjelasan atas realitas objektif dan berfungsi sebagai pemisah antara haq dan bâthil, pemisah antara kebenaran dan sangkaan. Adapun ayat-ayat yang termasuk risalah (kitâb al-risâlah) adalah kumpulan pengetahuan tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh manusia seperti ibadah, mu’amalah, akhlak, dan halal-haram. Dengan kata lain ayat-ayat risalah adalah ayat-ayat yang berisi tentang aturan-aturan hidup manusia dan oleh karenanya berfungsi untuk membedakan antara yang halal dengan yang haram.
Selanjutnya, menurut Syahrûr, ayat-ayat nubuwwah yang merupakan kumpulan pengetahuan itu terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok mutasyâbihât dan lâ muhkamât la mutasyâbihât. Ayat mutasyabihat adalah ayat yang berisi penjelasan atas realitas objektif. Ayat ini terdiri dari ayat al-Qur`ân al-‘Azhîm dan al-Sab’ al-Matsânî (QS al-Hijr: 87). Al-Qur`ân al-‘Azhîm adalah sekumpulan ayat yang menginformasikan tentang hukum-hukum alam permanen yang tertulis dalam lawh mahfûzh dan hukum alam yang berubah yang tertulis dalam imâm mubîn. Al-Qur`ân al-‘Azhim disebut juga dengan al-hadîts atau al-haq karena berbicara tentang gerak dan realitas. Al-Sab’ al-Matsânî adalah tujuh ayat fawâtih al-suwâr seperti alif-lam-mim dan empat belas (7 X 2) huruf bunyi dan disebut juga dengan istilah ahsân al-hadîts.
Adapun ayat “bukan muhkamat bukan mutasyabihat” adalah ayat yang menjelaskan isi, karakter dan sistematika Al-Kitab (tafsîl al-kitâb). Ayat ini termasuk kelompok nubuwwah karena isinya hanya merupakan pengetahuan bukan pensyari`atan. Skema di bawah ini, menurut Syahrûr, merupakan kesimpulan dari ayat lâ muhkamât lâ mutasyâbihât.
Skema Sistematika Al-Kitab















Adapun kitab risalah adalah ayat-ayat muhkamat yang berisi tentang hudûd, ibadah, al-furqân, dan ta’limat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan antar manusia dan dasar-dasar syari’ah. Ayat-ayat ini disebut juga dengan dengan istilah umm al-kitâb (Q.S. Alu Imran: 7). Hudûd adalah batas-batas hukum yang tidak boleh dilampaui, baik batas maksimal maupun batas minimal. Ibadah atau al-sya’air adalah ritual-ritual keimanan seperti shalat dan puasa. Al-Furqan adalah sepuluh perintah Tuhan (ten commandement) yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa, Isa dan Muhammad yang menjadi titik persamaan risalah yahudi, nashrani dan Islam. Al-Ta’limât adalah perintah-perintah dan larangan-larangan baik yang bersifat khusus kepada nabi maupun bersifat umum untuk seluruh manusia.
4.3. Sistematika Sunnah

Berkaitan dengan sunnah, Syahrûr menyatakan bahwa Al-Sunnah adalah sebuah metode penerapan hukum-hukum umm al-kitâb secara mudah dan gampang tanpa keluar dari ketentuan hudud dengan memperhatikan realitas objektif tempat dan saat hukum itu akan diterapkan. Dengan definisi di atas, ia menolak terminologi definisi hadis klasik sebagai “segala sesuatu yang dinisbahkan kepada nabi baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrîr”. Definisi klasik, menurutnya telah membawa umat kepada kehancuran. Dengan melakukan redefinisi atas sunnah ia juga melakukan kritik atas bentuk ketaatan literal dan mengajak untuk menerapkan semangat sunnah Nabi. Peniruan terhadap nabi tidak harus berupa peniruan yang bersifat literal tetapi harus merupakan peniruan atas semangat dasar penerapan hukum.
Bila Al-Kitab terdiri dari kitab nubuwwah dan kitab risalah, sunnah pun, menurut Syahrûr, terdiri dari sunnah nubuwwah dan sunnah risalah. Bila kitab Nubuwwah mengandung hadits dan berisi tentang berbagai pengetahuan, sunnah nubuwwah pun mengandung pengetahuan-pengetahuan atau hadits-hadits, yaitu:
1. Hal-hal yang berkaitan dengan perkara ghaib (ahâdîts al-ghaibiyyat) yang berfungsi sebagai penjelas atas al-Qur`ân dan berkaitan dengan pemahaman umum atas al-Qur`ân dan bukan merupakan ta’wil karena nabi tercegah untuk melakukan ta’wil. Usaha pemahaman terhadap hadis ini sekaligus kritik otentisitasnya adalah melalui verifikasi atas informasi-informasi al-Qur`an dan kesesuaian dengan realitas dan akal. Syahrûr menolak dengan tegas hadis-hadis ghaibiyyat ini. Menurutnya, di dalam hadis-hadis ini terdapat hal-hal yang meragukan, baik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Kerajaan Allah atau pun berkaitan dengan ramalan-ramalan masa depan, karena kedua jenis hadis itu dipenuhi dengan israiliat dan fanatisme mazhab yang berkembang pada masa hadis ditulis.
2. Hal-hal yang berkaitan dengan penjelasan tafsîl al-kitâb seperti hadis yang menyatakan bahwa “telah datang padaku al-Qur`ân dan yang semisal dengannya” atau hadits “Al-Qur`ân diturunkan ke langit dunia pada malam lailatul qodar”.
Adapun sunnah risalah adalah ijtihad nabi dalam menerapkan kitab al-risalah. Isi dan kandungan sunnah risalah sama dengan kandungan kitab risalah. Sunnah Risalah meliputi hadis-hadis ritual, hadis-hadis hukum dan hadis-hadis khalqiyyah dan khulqiyyah Nabi. Sunnah risalah mengharuskan ketaatan. Ketaatan pada sunnah risalah, menurut Syahrûr berbentuk dua model ketaatan, yaitu ketaatan mutlak (al-thâ’ah al-muttashilah) dan ketaatan sementara (al-thâ’ah al-munfashilah). Ketaatan mutlak adalah ketaatan yang berlangsung terus menerus di mana pun dan kapan pun, baik ketika ia masih hidup maupun setelah meninggalnya. Ketaatan seperti ini sebagaimana ketaatan kita kepada Allah. Ketaatan mutlak hanya berlaku untuk masalah hudud, ibadah dan akhlak, misalnya taat (tidak melampaui) terhadap (tidak melampaui) batas maksimal pakaian bagi perempuan (yakni seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan), batas minimal zakat (yakni 2,5 %), tata cara ibadah dan lain-lain.
Ketaatan sementara adalah ketaatan pada rasul pada saat ia masih hidup dan kewajiban taat itu berhenti setelah ia meninggal dunia. Ketaatan sementara berkisar pada perkara-perkara keseharian dan hukum-hukum temporer, seperti putusan-putusan rasul sebagi pemimpin negara, hakim, panglima perang, larangan melukis menulis, bermain musik dan menyanyi.
Dua bentuk ketaatan terhadap sunnah rasul tersebut diisyaratkan oleh dua jenis ayat tentang keharusan taat kepada rasul, yaitu: وأطيعوا الله والرسول لعلكم ترحمون (ال عمران 132) dan وأطيعوا الله وأطيعوا الرسول (النساء 59). Pada ayat pertama kata al-rasûl di-athaf-kan kepada kata allâh secara langsung tanpa dipisah dengan kata lain. Ini berarti ketaatan kepada rasul bersifat mutlak (muttashilah) sebagaimana kewajiban taat kepada Allah. Sementara pada ayat kedua Allah memberi dua perintah dengan mengulang kata ‘athî’û yang mengisyaratkan ketaatan kepada rasul tidak berarti sekaligus merupakan ketaatan kepada Allah. Rasul memiliki wewenang dalam beberapa masalah-masalah yang dihadapinya pada masanya. Dengan demikian ketaatan kepadanya hanya berlaku ketika beliau masih hidup. Kesimpulan ketaatan atas rasul selama ia masih hidup diperoleh berdasarkan lanjutan ayat wa ûli al-amri minkum, tentu saja ulil amri yang wajib kita taati itu ulil amri yang masih hidup. Jadi ayat ini berkaitan dengan ketaatan kepada rasul selama ia masih hidup.

5. Kebakaan dan Kefanaan Nubuwwah-Risalah
5.1. Kebakaan dan Kefanaan Kitab Nubuwwah (al-Qur`ân)
Sudah dijelaskan di atas bahwa nubuwwah adalah kumpulan pengetahuan tentang hukum-hukum kosmos, manusia dan kitab manusia. Sementara al-Qur`ân (=dalam pengertian Syahrûr, bukan dalam pengertian umat pada umumnya) adalah ayat-ayat Al-Kitab yang memuat informasi tentang hukum-hukum alam dan manusia saja. Al-Qur`ân berhubungan dengan rububiyah Tuhan dan takdirnya di alam semesta. Al-Qur`ân berbicara tentang alam objektif, ia berbicara tentang haq (objektif) dan batil (subjektif). Karena sifatnya yang demikian Al-Qur`ân menjadi bukti kebakaan Islam. Ia mu’jizat nabi yang abadi. Al-Qur`ân shâlih li kulli zaman wa makan.
Persoalannya adalah bagaimana menghubungkan kebakaan itu dengan kefanaan realitas? Bagaimana mendamaikan yang sakral dengan yang profan, yang ukhrawi dan duniawi, membedakan yang konstan dan varian, memilah bentuk dan substansi? Apakah dengan menerima kebenaran informasi alam objektif dari Al-Qur`ân kita harus menolak “kebenaran” yang ditemukan akal manusia? Bila ini yang diterima bukankah dengan cara itu kita mengukuhkan kebakaan, yang sebenarnya tidak perlu dikukuhkan? Bukankah dengan demikian kita telah menjauhi ilmu pengetahuan yang telah banyak menolong kehidupan kita? Atau apakah dengan menerima “kebenaran” sains kita harus menolak kebenaran Al-Qur`ân? Bila ini yang diterima, bukankah dengan demikian kita sudah melempar kebakaan jauh-jauh dan kita hidup tanpa pegangan? Bukankah dengan demikian agama bukan lagi agama karena kehilangan kesakralan?
Dalam prinsip-prinsip metodologisnya, Syahrûr mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu, dan tidak ada pertentangan antara kebenaran wahyu dengan kebenaran ilmiah. Oleh karenanya ia dapat menerima kebenaran yang ditemukan sains dengan tetap berpegang kepada teks Al-Kitab. Caranya?
Menurut Syahrûr, sebuah bahasa (dari kitab suci) memiliki banyak kemungkinan makna; sementara itu pemahaman manusia bersifat historis, relatif dan temporer. Inilah titik temu yang dapat mengharmoniskan kebakaan dan kefanaan itu. Berbagai kemungkinan makna dari kitab suci dan pemahaman relatif manusia bertemu melalui mekanisme ta’wil.
Ta’wil bukanlah penafsiran metaporis, melainkan sebuah proses tasyabuh, yaitu usaha terus menerus untuk mengharmoniskan sifat absolut al-Qur`ân dengan pemahaman relatif pembacanya. Harmoni ini diperoleh dengan cara mendinamiskan kandungan teks seiring dengan perkembangan pemikiran manusia pada periode sejarah. Jadi, kita tetap dapat berpegang kepada teks sambil menikmati kebenaran ilmiah. Sifat kebakaan al-Qur`ân terletak pada teksnya yang berasal dari Tuhan, sifat kefanaannya terdapat pada kemungkinan-kemungkinan maknanya yang sejajar dengan relatifitas pengetahuan manusia. Al-Qur`ân adalah kitab mutasyabihat; kitab yang memiliki kemampuan untuk selalu sesuai, selaras dan seimbang dengan pengetahuan manusia kapan saja dan di mana saja.
5.2. Kebakaan dan Kefanaan Kitab Risalah: Konsep Istiqamah-Hanifiah dan Hudud
Al-Kitab adalah wahyu Allah, baik lafad maupun maknanya. Oleh karenanya ia bersifat abadi, sesuai untuk semua tempat dan cocok untuk segala zaman. Namun demikian tidak ada satu tafsir pun yang cocok untuk setiap zaman dan tempat. Al-Kitab memang wahyu terakhir tetapi tidak ada tafsir terakhir atasnya walaupun ia dilakukan oleh Nabi sendiri. Tafsir-tafsir nabi hanya berlaku untuk masanya, atau jika ada yang berlaku melintas zaman semua itu harus diperhitungkan kembali kebenarannya dengan verifikasi Al-Kitab. Hak penafsiran atas Al-Kitab terletak pada pembacanya dengan segala problema yang dimilikinya.
Al-Kitab adalah wahyu Allah baik lafadnya maupun maknanya. Oleh karena itu usaha untuk memahami Kitabullah harus berdasarkan kepada kedua sisi lafad dan makna. Tidak dibenarkan menafsirkan al-Kitab secara literal saja tanpa memperhatikan berbagai kemungkinan makna. Sebaliknya, tidak pula dibenarkan menafsirkan Al-Kitab dengan hanya mengambil maknanya tanpa memperhatikan lafadnya, seperti yang dilakukan oleh kaum bathiniah.
Al-Kitab, dengan kedua sisinya (nubuwwah dan risalah) adalah kitab universal. Keuniversalan kitab nubuwwah terletak pada kemiripan, kesesuaian antara informasi-informasi yeng disediakannya dengan penemuan-penemuan ilmiah pada setiap masa. Sedangkan keuniversalan kitab risalah terletak pada konsep hudud, yakni batas-batas hukum maksimal maupun minimal. Sayangnya keuniversalan kitab risalah ini sering dipertanyakan. Pertanyaan-pertanyaan itu lahir dari ketiadaan metodologi dalam memahami al-Kitab, sehingga mereka lari dari literalisme teks menuju makna yang mereka inginkan. Di sisi lain sebagian umat bersikukuh berpegang kepada makna literal, bagi mereka bukan teks yang harus mengikuti zaman tetapi zamanlah yang harus mengikuti teks. Kesalahan dalam memahami kitab risalah menurut Syahrûr karena umat tidak memahami konsep istiqamah dan hanifiah risalah.
Kata hanîf adalah mustaq dari hanafa yang artinya melengkung dan bengkok (al-mayl wa al-inhirâf). Dari asal kata inilah orang pincang disebut ahnaf. Dalam bahasa Arab kata al-hanf, al-khanf dan al-janf memiliki akar makna yang sama. Al-hunafâ` adalah sifat alami dari seluruh alam. Langit bumi, kosmos, bahkan elektron pun bergerak secara melengkung. Tidak ada tata alam yang tidak melengkung. Sifat inilah yang menjadikan alam teratur dan dinamis. Al-dîn al-hanîf dengan demikian adalah agama yang selaras dengan kondisi ini karena al-hanîf merupakan pembawaan yang bersifat fitrah.
Adapun kata istiqâmah berasal dari akar kata qawm yang memiliki dua arti: (1) kumpulan manusia berjenis kelamin laki-laki, (2) berdiri tegak (al-intishâb) dan kuat (al-azm). Dari arti tegak (al-intishâb) lahir kata al-istiqâmah dan al-mustaqîm, antonim dari kata bengkok (al-inhirâf). Dari arti kuat (azm) muncul kata al-qayyim, qawwâm dan qayyûm seperti al-dîn al-qayyim yakni agama yang kuat yang memiliki kekuasaan, al-rijâlu qawwâmûn ‘ala al-nisâ` dan allâhu lâ ilâha illâ huwa al-hayyu al-qayyûm.
Istiqamah dan hanifiah adalah dua sifat dari agama Islam yang membuat agama ini kuat. Dengan dua prinsip ini agama sanggup melahirkan ratusan milyar kemungkinan dalam pensyari’atan dan dalam perjalanan hidup manusia sejak diciptakan sampai hari kiamat. Sifat hanifiah adalah gerak dinamis dalam syariah yang terus menerus berubah dan sanggup menghadapi perubahan, sementara istiqamah merupakan poros dari gerak dinamis itu yang menjadi pedoman dan kontrol atas segala perubahan yang mungkin terjadi dalam merespon zaman. Perubahan adalah gerak alamiah dari segala eksistensi yang memiliki kekuatan besar dan tidak bisa dilawan, oleh karena itulah kita disuruh untuk berdoa ihdinâ al-shirâth al-mustaqîm agar mampu mengontrol perubahan agar tidak keluar jalur. Al-Shirath al-mustaqîm adalah batasan gerak dinamika manusia dalam menentukan hukum.
Dengan konsep istiqamah dan hanifiah disertai dengan teori analisa matematis dari Newton, Syahrûr memperkenalkan konsep hudûd sebagai sebuah alat analisa bagi ayat-ayat ahkâm. Hudud adalah batas-batas atas maupun bawah tempat gerak dinamis ijtihad berporos. Hudud, dengan batas-atas dan batas-bawah atau batas maksimal dan batas minimal memberikan ruang gerak bagi syariah untuk terus menerus menjawab persoalan manusia sepanjang zaman. Hudud menjadi jaminan bagi klaim “al-islam shalîh li kulli zamân wa makân”. Hudud menjadi penghubung kebakaan lafad Al-Kitab dengan kefanaan realitas yang dihadapi mukallaf.
Penelusuran terhadap ayat-ayat kitab risalah membawa Syahrûr pada kesimpulan bahwa batas-batas syariat mengenal enam model hudud.
1. Batas minimum, yaitu batas paling minimal yang ditentukan al-Kitab dan ijtihad. Manusia tidak dibenarkan mengurangi batas minimal itu namun diperbolehkan menambah. QS al-Nisa: 23 tentang perempuan yang haram dinikahi, al-Maidah: 3 tentang makanan yang diharamkan dan al-Nûr: 31 tentang pakaian perempuan adalah contoh-contoh ayat yang menggunakan batas minimal. Al-Nisa: 23 menyebutkan perempuan-perempuan yang haram dinikahi sebagai batas minimal. Dengan demikian seorang mujtahid bisa saja mengurangi jumlah perempuan haram dinikahi, tetapi dibolehkan menambah. Hasil kedokteran, misalnya, menyebutkan bahwa menikah dengan anak bibi atau paman dapat berakibat buruk bagi keturunan, oleh karenanya ijtihad bisa saja mengharamkannya, walaupun tidak disebutkan dalam ayat di atas.
2. Batas maksimum, yaitu batas paling atas yang telah ditetapkan dan tidak boleh atau tidak mungkin melampauinya namun memungkinkan untuk menguranginya. Hukum potong tangan bagi pencuri (al-Mâ`idah: 38) dan hukuman mati bagi pembunuh (al-Isra: 33) adalah hukuman maksimal yang tidak boleh atau tidak mungkin diperberat lagi namun boleh diperringan sesuai dengan kondisi yang memungkinkannya.
3. Batas maksimum dan batas minimum, yaitu dua buah batas yang berada di atas dan di bawah yang berarti tidak boleh menambah batas atas dan tidak boleh mengurangi dari batas bawah. Pembagian waris dalam al-Nisâ: 11 menunjukkan adanya batas maksimal dan minimal. Batas maksimal perolehan warisan bagi kelompok laki-laki adalah dua kali bagian kelompok perempuan dan batas minimal harta yang diperoleh oleh kelompok perempuan adalah setengah dari bagian kelompok laki-laki. Syariah membolehkan perubahan angka perbandingan sesuai dengan kondisi yang membutuhkan dengan syarat tidak melewati batas maksimum dan minimalnya.
4. Batas maksimum dan minimum bersamaan dalam satu titik koordinat. Ketentuan ini memberikan pengertian bahwa hukum suatu pelanggaran tidak bisa ditambah atau dikurangi dari yang telah ditetapkan Al-Kitab. Hukuman bagi pezina (al-Nûr: 2) misalnya, ia tidak bisa diperberat atau diperringan. Ruang ijtihad dalam kasus ini hanya pada persaksian.
5. Batas maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tetapi tidak menyentuh. Yaitu batas paling atas yang telah ditentukan dalam Al-Kitab namun karena tidak ada sentuhan dengan had maksimum maka hukuman belum dapat ditetapkan. Kasus hubungan laki-laki dan permpuan merupakan contoh had ini. Batas atas yang telah ditetapkan adalah hukuman zina tetapi bila perempuan dan laki-laki berhubungan tetapi tidak ada persentuhan atau adanya persentuhan tetapi belum zina maka hukum zina tidak bisa diterapkan. Had ini adalah batas-batas yang tidak boleh didekati atau berada tepat di atasnya.
6. Batas maksimum positif tidak boleh dilewati dan batas minimum negatif yang boleh dikurangi. Had atas (berlipat ganda) bagi riba tidak boleh dilewati sedangkan had bawah zakat boleh dilewati dengan sedekah.

6. Penutup

Tujuan dari pembaharuan agama adalah mendamaikan kebakaan dengan kefanaan; menyelaraskan yang ukhrawi dengan yang duniawi; membedakan yang konstan dengan yang varian; memilah bentuk dan substansi; mengubah kulit luar sembari memelihara ruh agama; mengadakan kembali fatwa agama yang inovatif, mencari fuqaha yang berani memperkenalkan Islam ke dunia kontemporer dan membangun teologi-teologi baru. Oleh karenanya kita membutuhkan epistemologi baru agar agama dapat hidup di dunia kontemporer. Agar kita bisa menikmati kebakaan dan kefanaan sekaligus.
Akhir abad dua puluh, Syahrûr datang kepada kita dengan menawarkan cara mengharmoniskan keabadian dengan kefanaan melalui pembacaan baru terhadap Al-Kitab. Kajiannya atas konsep-konsep inti keagamaan bukan hanya sekedar melakukan defamiliarisasi tetapi juga menawarkan epistemologi yang kita tunggu. Dengan konsep nubuwwah dan risalah, ia membangun kembali sistematika Al-Kitab dan menawarkan konsep ta’wil dan ijtihad hududiyah sebagai suatu mekanisme perpaduan antara keabadian dan kesementaraan. Ta’wil adalah usaha terus menerus untuk mengharmoniskan sifat absolut al-Qur`ân dengan pemahaman relatif pembacanya, sementara ijtihad hududiyah adalah upaya menerapkan ajaran suci dalam keragaman kondisi historis manusia dengan hanya memberikan batasan-batasan yang tidak boleh dilampaui.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris, Menyimak Pemikiran Keislaman Muhammad Syahrur, IAIN Sunan Kalijaga, makalah tidak diterbitkan, 1999.
Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan Abdullah Ali, Mizan, Bandung, Cetakan Pertama, 2002.
Agus Moh. Najib, “As-Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pandangan Muhammad Syahrur” dalam Jurnal Penelitian Agama, Vol. XI, No. 2 Mei-Agustus 2002, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Andreas Christman, “Pengantar (2) ‘Bentuk Teks (Wahyu) Tetap, Tetapi Kandungannya (selalu) Berubah’: Tekstualitas dan Penafsirannya dalan Al-Kitâb wa Al-Qur`ân Karya Muhammad Shahrour”, dalam Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Dirâsât Islâmiyyah [4] Nahwa Ushul Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmi), diterjemahkan oleh Sahiron Samsuddin, eLSAQ Press, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 2004.
Ja’far Dâk Albâb, “Metode Linguistik Syahrur (Berdasarkan buku Al-Kitâb wa al-Qur`ân)”, dalam Muhammad Syahrûr, Tirani Islam Genealogi Masyarakat dan Negara (Dirâsât Islâmiyyah Mu’âshirah fî al-Daulah wa al-Mujtamâ’), diterjemahkan oleh Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, LKiS, Yogyakarta, Cetakan I, 2003.
Ja’far Dâk Albâb, “Taqdîm: Al-Manhaj al-Lughawî fi Al-Kitab”, dalam Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu’âshirah, Al-Ahâlî li-al-Thibâ’ah, Damaskus, 1990.
M. Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq, “Tafsir Ayat-ayat Jender dalam Al-Qur`an: Tinjauan terhadap Pemikiran Syahrur dalam ‘Bacaan Kontemporer’ “, dalam M. Aunul Abied Shah, et.al. (editor), Islam Garda Depan: Menyimak Pemikiran Islam Timur Tengah, Mizan, Bandung, Cetakan Pertama, 2001.
Muhammad Arkoun, Berbagai Pembacaan Al-Qur`an, penerjemah: Machasin, INIS, Jakarta, 1997.
Muhammad In’am Esha, “Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran Muhammad Syahrur” dalam Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam: Al-Huda, Islamic Center Jakarta Al-Huda, Jakarta, Volume 2 Nomor 4, 2001.
Muhammad Mahfûzh bin ‘Abdullah al-Tremasi, Manhaj Dzawî al-Nazhr, Dâr al-Fikr, t.tp, t.t.
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Dirâsât Islâmiyyah [4] Nahwa Ushul Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmi), diterjemahkan oleh Sahiron Samsuddin, eLSAQ Press, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 2004.
Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu’âshirah, Al-Ahâlî li-al-Thibâ’ah, Damaskus, 1990.
Muhammad Syahrûr, Dialektika Kosmos & Manusia: Dasar-dasar Epistemologi Qurani [Terjemahan dari bab II buku Al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu’âshirah], diterjemahkan oleh M. Firdaus, Nuansa, Bandung, Cetakan Pertama, 2004.
Muhammad Syahrûr, Tirani Islam Geneologi Masyarakat dan Negara [Dirâsât Islâmiyyah Mu’âshirah fî al-Daulah wa al-Mujtamâ’], diterjemahkan oleh Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, LKiS, Yogyakarta, Cetakan I, 2003.
Sahiron Syamsuddin, “Book Review-1 (Al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ’ah Mu’âshirah)” dalam Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Nomor 62/XII/1998, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sahiron Syamsuddin, Intertekstualitas dan Analisis Linguistik Paradigma Sintagmatis (Studi atas Hermeneutika al-Qur`an Kontemporer M. Shahrur), makalah tidak diterbitkan, Yogyakarta.
Yûsuf al-Qaradhâwî, Kajian Kritis Pemahaman Hadis: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual [Al-Madkhal li Dirâsât al-Sunnah al-Nabawiyyah], penerjemah A. Najiyullah dan Hidayatullah Nawawi, Islamuna Press, Jakarta, Cetakan Pertama, 1994.
Yûsuf al-Qaradhâwî, Kaifa Nata’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma’âlim wa Dhawâbith, Dâr al-Wafâ, Al-Manshûrah, cetakan ketiga, 1990.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Menulis terus mas Lukman, jangan terlalu risau dengan barteran yang bersifat material. Karena tulisan, seperti tulisanmu, merupakan pencerahan bagi yang merasakannya. Salam Hangat.

Diamond mengatakan...

Yeyeye... lagi search yang nongol pertama blog y bapak...